Postingan ini sebenarnya tidak direncana. Bahkan rasanya seakan dipaksa untuk menulis. Tapi, ya memang ingin. Berawal dari tantangan untuk menjawab pertanyaan di bawah, bersamaan mengejar waktu. Jadilah ini, jawaban dari sosok yang terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.
Arti hidup?
Aku sudah tahu kematian. Tahu dalam maksud, mengerti bagaimana orang terdekat perlahan pergi satu per satu. Februari 2017 seharusnya menjadi bulan yang menyenangkan dengan teman sesama mahasiswa, rapat hingga malam, berdiskusi, dan menikmati es krim dengan mereka yang disebut Pengembangan dan Sumber Daya Manusia. Di tengah riuh Plaza Teknik Industri ITS, aku mengangkat telpon dan tidak ada lagi yang teringat malam itu kecuali memori bahwa aku sudah berlari ke ICU. Sosok pria tua setengah abad, tubuh lemas, bahkan tidak sadar. “Papa gakenapa-napa, gabutuh selang kayak begini,” begitu yang dia bilang dengan muka garang. Padahal, vonis gagal ginjal sudah di depan mata. Meski begitu, dia masih tersenyum sehari sebelum hari ulang tahunku, besok harus ada nasi kuning, bisiknya. Sayangnya, nasi kuning di 10 Maret 2017 tidak berasa kebahagiaan, malam itu Papa lagi-lagi tidak sadar diri. Aku ingin cerita bahwa siang tadi aku menyantap daging stik kesukaannya, tapi, tekanan darahnya terlalu rendah, kata Suster. Aku tidak butuh Papa ada saat ulang tahunku, hari-hari apapun boleh, asal sekali lagi aku bisa merasakan keberadaannya lagi. Tempatku ada di ruang tunggu ICU selama empat bulan perkuliahan, kertas berserakan karena aku yang sedang belajar kalkulus. Sesekali melihat kedalam, lagi-lagi lemas ketika suster berlarian. Detak jantung Papa hilang, syaraf tidak berfungsi, yang ada hanya getar hebat hingga bibir tergigit terus menerus, bersimbah darah. Padahal, baru kemarin Papa sumpah serapah bilang bahwa dirinya masih kuat, baru kemarin Papa membaca Lima Sekawan karangan Enid Blyton di bangsalnya, baru kemarin Papa bilang bahwa ia ingin jodohku seorang dokter. Empat bulan diantara hidup dan mati, berjuang adalah pilihannya. Menyenangkan hati orang adalah kesukaannya. Halaman rumah banyak sekali bunga papan, mendoakan. Semenjak itu aku mengerti bagaimana cara untuk berjuang meski suatu saat nanti, harus terhenti oleh waktu.
Berjuang bangkit ketika gagal, berjuang belajar meski ditolak, berjuang bahagia
meski dijatuhkan, berjuang tetap hidup meski mati rasa. Yang dibutuhkan hanya
berjuang sedikit lagi. Sebentar lagi, akan sampai. Kemanapun perginya,
lebih baik mati berjuang daripada berdiam diri menyerah, bukan?
Apa yang dicari?
Target dalam beberapa tahun
kedepan adalah, kembali melihat kebelakang dan memandang seberapa jauh diri
sudah berkembang. Bagaimana luka, lubang hitam, hingga pukulan yang terjadi hanyalah kisah lama yang menggubah diri menjadi sosok yang lebih baik.
Tidak berpacu dengan waktu, tidak berpacu dengan kawan. Tetap di lini masa diri.
Bagi beberapa orang, menerima terasa sulit, membuka masa lalu seperti menabur
garam pada luka. Dan di fase itu lah, saat keberanian untuk mencintai diri
semakin dalam, adalah awal dari penciptaan kebahagiaan abadi.
Milih dilahirkan atau tidak? Kenapa?
Andai saja bisa memilih, tiap terjatuh aku akan bilang lebih baik tidak lahir. Karena rasa jatuh sudah amat sakit, ditambah dengan kesendirian yang menghantui. Ingin berlabuh kemana? Menginginkan diri untuk menghilang begitu saja juga tidak mungkin, justru egois. Pasti ada sedikit, sedikit saja, setitik harapan untuk berjuang. Ia akan ada ketika dipercaya. Tepat pada detik itu, beri keberanian untuk melangkah. Aku tahu rasanya sendiri, memiliki hidup yang tidak ada arti. Jika menyerah maka akan ada gelap. Lalu, apa salahnya berjuang? Setidaknya kesempatan itu ada lagi untuk memberikan warna-warni.
Apa motivasi di dunia?
Banyak orang termakan dengan konsep ideal kehidupan. Lulus di umur 22, kemudian bekerja, menikah di umur 25, memiliki anak, blah, blah, blah. Seakan akan mereka yang tidak ingin menikah, lama mendapat pekerjaan, tidak ingin punya anak, penganut beda agama, dan penyuka sesama jenis kelamin, tidak memiliki ruang. Mereka dengan keluarga tertata berujar, "bibit bebet bobot itu dilihat, loh." Lalu bagaimana dengan mereka yang harus berjuang sendiri, menebak-nebak esok hari, dan masih meraba untuk melangkah? Mudah saja bagi mereka untuk hidup dengan orang tua hangat, keakraban saudara, dan serba ada. Andai semua anak dapat merasakannya. Jika pun tidak, tidak apa-apa kan jika ada perbedaan yang dapat diterima tanpa ada picingan mata dan kebencian? Tidak ada yang sempurna. Bahkan anak yang dilahirkan saja bisa merundungi kehidupannya, pun bukan berarti sepasang suami istri selalu pantas menjadi orang tua. Maka, kuingin sekali melihat teman-teman lebih mencintai dirinya sendiri dan mengerti apa yang terbaik untuk dirinya tanpa harus menggantungkan diri pada orang lain. Konsep kehidupan ideal itu hanya konstruksi sosial. Kita sendiri yang menciptakan kebahagiaan.